PENYAKIT KUSTA DITINJAU DARI ILMU KESEHATAN
MASYARAKAT, ALKITAB
DAN ETIKA KRISTEN
OLEH :
STEVY ERDIATRI NATALIA PURBA
G1B010013
1.1
Penyakit Kusta, menurut
Etika Kristen
Injil Lukas menyaksikan bagaimana saat
Tuhan Yesus dalam perjalananNya ke Yerusalem, Dia didatangi oleh sepuluh orang
kusta yang berseru:
“Yesus, Guru,
kasihanilah kami” (Luk. 17:13, hal.97 PB).
Sebagai orang-orang yang berpenyakit
kusta pada zaman itu, kesepuluh orang kusta tersebut tidak diperkenankan untuk
mendekat kepada orang-orang yang sehat. Hukum Taurat menyatakan bahwa seseorang
yang terkena penyakit kusta akan dinyatakan sebagai najis:
“Imam
haruslah memeriksa penyakit pada kulit itu, dan kalau bulu di tempat penyakit
itu sudah berubah menjadi putih, dan penyakit itu kelihatan lebih dalam dari
kulit, maka itu penyakit kusta; kalau imam melihat hal itu, haruslah ia
menyatakan orang itu najis” (Imamat 13:3, hal.121 PL).
Kondisi najis tersebit dianggap dapat
menular kepada orang lain yang menyentuhnya. Itu sebabnya (Imamat 5:3) menyatakan:
“Atau
apabila ia kena kepada kenajisan berasal dari manusia, dengan kenajisan apapun
juga ia menjadi najis, tanpa menyadari hal itu, tetapi kemudian ia
mengetahuinya, maka ia bersalah”.
Untuk memenuhi hukum Musa itu,
orang-orang kusta pada zaman itu harus memberi tanda saat mereka lewat dengan
perkataan: “Najis, najis”. Tujuannya
adalah agar orang-orang di sekitar dapat segera menghindar dari kemungkinan
untuk tersentuh anggota tubuh dari orang yang berpenyakit kusta. Dengan
demikian kesepuluh orang kusta tersebut harus berdiri cukup jauh dari Yesus dan
para muridNya.
Bukankah sangat menarik, kebiasaan
orang-orang berpenyakit kusta yang harus mengucapkan yang memberi tanda,
yaitu: “Najis, najis” tiba-tiba berubah saat mereka berjumpa dengan Tuhan
Yesus. Kesepuluh orang kusta tersebut tidak lagi mengucapkan kata-kata
“Najis-najis” kepada Tuhan Yesus, tetapi mereka mengucapkan permohonan : “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”.
Makna ungkapan “najis, najis” yang
diucapkan oleh orang-orang kusta selain memberi tanda kepada orang-orang di
sekitarnya untuk menjauh, sebenarnya juga merupakan ungkapan yang menyakiti
diri mereka sendiri. Sebab ungkapan “najis” tersebut menunjuk kepada keadaan
tubuhnya yang sedang mengidap penyakit kusta.
Mereka akan cenderung untuk membenci
dirinya sendiri, karena keadaan tubuhnya dianggap mereka sebagai sumber atau
asal dari kenajisan yang dapat membahayakan dan menajiskan orang-orang di
sekitarnya. Karena itu para penderita penyakit kusta selalu menderita secara
fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Secara
fisik, penyakit kusta menyebabkan kulit dan
beberapa dari organ-organ tubuh dapat terlepas dengan luka-luka tertentu.
Secara emosional, mereka menderita
dengan kondisi tubuh yang cacat dan tampak mengerikan. Secara sosial, orang-orang berpenyakit kusta selalu dijauhi dan
disingkirkan dalam pergaulan. Bahkan mereka juga harus dipisahkan dari keluarga
dan tempat tinggalnya.
Karena itu tidak mengherankan jikalau
para penderita kusta selalu menganggap penyakit tersebut sebagai suatu hukuman
dari Allah (Bil. 12:10).
Bilangan 12 : 10
“Dan ketika awan
telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti
salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena
kusta!”
Karena dianggap sebagai bentuk dari
hukuman Allah, maka kesembuhan dari penyakit kusta harus melalui proses ritual
pentahiran:
"Inilah
yang harus menjadi hukum tentang orang yang sakit kusta pada hari
pentahirannya: ia harus dibawa kepada imam” (Imamat 14:2).
Jadi, menurut etika kristen penyakit
kusta itu disebabkan karena dosa-dosa mereka. Karena Etika Kristen merupakan
prinsip-prinsip dari ima kristen yang menjadi dasar tindakan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar