Selasa, 01 Oktober 2013

Makalah Agama Kristen (Bab IV b)

PENYAKIT KUSTA DITINJAU DARI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT, ALKITAB 
DAN ETIKA KRISTEN

OLEH : 
STEVY ERDIATRI NATALIA PURBA
G1B010013
1.1                    Penyakit Kusta, menurut Etika Kristen
Injil Lukas menyaksikan bagaimana saat Tuhan Yesus dalam perjalananNya ke Yerusalem, Dia didatangi oleh sepuluh orang kusta yang berseru:
“Yesus, Guru, kasihanilah kami” (Luk. 17:13, hal.97 PB).

Sebagai orang-orang yang berpenyakit kusta pada zaman itu, kesepuluh orang kusta tersebut tidak diperkenankan untuk mendekat kepada orang-orang yang sehat. Hukum Taurat menyatakan bahwa seseorang yang terkena penyakit kusta akan dinyatakan sebagai najis:
“Imam haruslah memeriksa penyakit pada kulit itu, dan kalau bulu di tempat penyakit itu sudah berubah menjadi putih, dan penyakit itu kelihatan lebih dalam dari kulit, maka itu penyakit kusta; kalau imam melihat hal itu, haruslah ia menyatakan orang itu najis” (Imamat 13:3, hal.121 PL).

Kondisi najis tersebit dianggap dapat menular kepada orang lain yang menyentuhnya. Itu sebabnya (Imamat 5:3) menyatakan:
“Atau apabila ia kena kepada kenajisan berasal dari manusia, dengan kenajisan apapun juga ia menjadi najis, tanpa menyadari hal itu, tetapi kemudian ia mengetahuinya, maka ia bersalah”.

Untuk memenuhi hukum Musa itu, orang-orang kusta pada zaman itu harus memberi tanda saat mereka lewat dengan perkataan: “Najis, najis”. Tujuannya adalah agar orang-orang di sekitar dapat segera menghindar dari kemungkinan untuk tersentuh anggota tubuh dari orang yang berpenyakit kusta. Dengan demikian kesepuluh orang kusta tersebut harus berdiri cukup jauh dari Yesus dan para muridNya.
Bukankah sangat menarik, kebiasaan orang-orang  berpenyakit kusta yang harus mengucapkan yang memberi tanda, yaitu: “Najis, najis” tiba-tiba berubah saat mereka berjumpa dengan Tuhan Yesus. Kesepuluh orang kusta tersebut tidak  lagi mengucapkan kata-kata “Najis-najis” kepada Tuhan Yesus, tetapi mereka mengucapkan permohonan : “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”.
Makna ungkapan “najis, najis” yang diucapkan oleh orang-orang kusta selain memberi tanda kepada orang-orang di sekitarnya untuk menjauh, sebenarnya juga merupakan ungkapan yang menyakiti diri mereka sendiri. Sebab ungkapan “najis” tersebut menunjuk kepada keadaan tubuhnya yang sedang mengidap penyakit kusta.
Mereka akan cenderung untuk membenci dirinya sendiri, karena keadaan tubuhnya dianggap mereka sebagai sumber atau asal dari kenajisan yang dapat membahayakan dan menajiskan orang-orang di sekitarnya. Karena itu para penderita penyakit kusta selalu menderita secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Secara fisik, penyakit kusta menyebabkan kulit dan beberapa dari organ-organ tubuh dapat terlepas dengan luka-luka  tertentu. Secara emosional, mereka menderita dengan kondisi tubuh yang cacat dan tampak mengerikan. Secara sosial, orang-orang berpenyakit kusta selalu dijauhi dan disingkirkan dalam pergaulan. Bahkan mereka juga harus dipisahkan dari keluarga dan tempat tinggalnya.
Karena itu tidak mengherankan jikalau para penderita kusta selalu menganggap penyakit tersebut sebagai suatu hukuman dari Allah (Bil. 12:10).

Bilangan 12 : 10
“Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta!

Karena dianggap sebagai bentuk dari hukuman Allah, maka kesembuhan dari penyakit kusta harus melalui proses ritual pentahiran:

"Inilah yang harus menjadi hukum tentang orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya: ia harus dibawa kepada imam” (Imamat 14:2).

Jadi, menurut etika kristen penyakit kusta itu disebabkan karena dosa-dosa mereka. Karena Etika Kristen merupakan prinsip-prinsip dari ima kristen yang menjadi dasar tindakan kita.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar